Jumat, 12 Maret 2010

HUKUM dan SI MISKIN

HUKUM TAK BERPIHAK PADA SI MISKIN



Saat ini hubungan negara dengan rakyat sudah berjalan ke arah yang lebih baik yaitu menuju Negara Demokrasi Konstitusional. Hal ini ditandai dari adanya jaminan perlindungan hak asasi manusia, pembatasan, kekuasaan, dan mekanisme sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Demokrasi konstitusional merupakan sebuah model negara yang ditandai oleh relasi negara dan rakyat berdasarkan paham konstitusionalisme. Model negara semacam ini mencegah praktek tirani mayoritas apalagi tirani minoritas, karena kekuasaan senantiasa dibatasi oleh nilai-nilai keadilan, kebenaran, demokrasi, supremasi hukum dan hak asasi manusia yang dimuat dalam konstitusi. Memiliki persamaan dengan makna hak untuk memperoleh dan menggunakan manfaat dari suatu ketersediaan. Karenanya masyarakat miskin seharusnya mendapat jaminan dan pengakuan dalam menggunakan hukum acara dan sarana dalam sistem peradilan untuk mendapatkan keadilan dan kebenaran materiil. Keperluan sebuah peraturan perundang-undangan yang menjamin akses masyarakat terhadap keadilan sangat diperlukan. Akses keadilan dalam konteks ini bukanlah akses keadilan yang sempit, melainkan keadilan dalam arti luas yakni mencakup semua bidang kehidupan, termasuk akses keadilan atas sumber daya alam, akses keadilan dalam relasi kerja formal dan informal, bahkan akses keadilan dan kesetaraan gender. Pelayanan bantuan hukum merupakan salah satu aksi dan program yang konkret untuk mewujudkan akses terhadap keadilan atau keadilan bagi semua orang terutama bagi kelompok masyarakat miskin dan termarjinalkan.
Bulan Agustus 2009, kepolisian sektor Ajibarang diperiksa karena diduga mencuri tiga buah kakao dari kebun PT. Rumpun Sari Antan yang juga tempat dia bekerja. Mandor yang memergokinya melaporkan perbuatannya ke kepolisian. Nenek minah pun ditahan dan pemeriksaannya berlanjut sampai persidangan. Ada kacacatan hukum yang diterima oleh nenek Minah, antara lain :
1. Nenek Minah tidak mendapatkan kuasa hukum atau pengacara untuk mendampinginya selama pemeriksaan sampai persidangan;
2. Keluarga, kerabat dan rukun tetanggganya tidak diberitahukan sehubungan dengan penahanannya;
3. Nenek Minah adalah seseorang yang buta akan hukum, dia hanya mengerti “ya” dengan maksud proses hukum atasnya dapat selesai dengan cepat.
Nenek Minah menerima putusan hakim bukan karena dia menganggap putusan hakim itu adil atau tidak adil, melainkan karena dia sudah lelah berurusan dengan hukum yang berlaku di negeri ini. Berbeda dengan nenek Minah, jaksa belum mau menerima putusan hakim yang jauh lebih rendah dari tuntutannya, oleh karena itu jaksa menyatakan masih akan pikir-pikir untuk berkonsultasi dulu dengan kajari.
Setiap pasal dalam Undang-Undang Pidana selalu mensyaratkan bahwa suatu perbuatan hanya di anggap sebagai perbuatan pidana apabila memenuhi unsur “melanggar hukum”, yang didalam bahasa aslinya disebut wederchtelijk. Di sini, kata recht yang dipakai dan bukan wet. Dalam kepustakaan hukum ada hukum rakyat yang masih berlaku pada kasus nenek Minah (locus delicti). Hukum tersebut di istilahkan dengan living law, atau law of the country. Apabila persoalan wederchtelijk dan law of the country diangkat dalam persoalan nenek Minah dan kakaonya, sebenarnya tidak ada unsur pidana dalam perbuatan nenek Minah. Nenek Minah tidak dapat dikatakan sebagai pencuri, karena menurut hukum rakyat setempat atau living law atau law of the country bahwa dikatakan mencuri apabila barang yang diambil dibawa pergi dan disembunyikan dan bukan dipetik serta diletakkan di tempatnya. Nenek Minah memberikan tiga buah kakao yang dipetik kepada mandornya.
Seorang pria berusia sembilan belas tahun bernama Aspuri harus menjalani pemeriksaan sampai persidangan di Pengadilan Negeri Serang, Banten. Aspuri di dakwa atas pencurian sebuah baju milik Dewi. Ada beberapa alasan yang perlu diperhatikan dan dicermati oleh aparat penegak hukum yaitu :
1. Aspuri mengambil baju milik Dewi yang dinilai seharga Rp. 80.000, 00 (delapan puluh ribu rupiah) dari sebuah pagar yang tidak dikenal tuan atau penghuninya;
2. Aspuri mengambil bukan secara diam-diam atau tidak diketahui oleh orang lain atau dengan sengaja, karena dia mengambil pada saat pulang dari ladang menuju rumahnya;
3. Aspuri tidak tahu kalau itu buju milik Dewi dan apakah Aspuri harus menghampiri setiap penduduk daerah tersebut untuk menanyakan baju tersebut milik siapa?.
Hukum memang tidak memberikan peluang kepada Aspuri untuk menjalani proses berhukum. Satjipto Rahardjo memberikan antitesis bahwa hukum dibuat untuk manusia dan bukan sebaliknya. Manusia memang bukan mesin atau kalkulator yang jika dimasukkan suatu rumus peristiwa sosial akan menghasilkan input yang sama. Pencurian sebuah baju, yang tergantung begitu saja dipagar kemudian dipersamakan dengan pencurian motor atau bahkan kasus-kasus korupsi yang mencuri uang negara yang sangat banyak. Kita juga mungkin akan melakukan hal yang sama ketika melihat baju tersebut. Banyak orang mempersalahkan penanganan hukum hukum yang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan yang terlalu mementingkan legal formal sebagai kata lain dari kepastian hukum. Apa artinya hukum apabila manusia menjadi tersiksa dan terbelenggu karena hukum itu. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pembentukan Undang-Undang menyebutkan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum. Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus dibuat atas dasar asas kemanusiaan dan kekeluargaan. Apabila hal itu dilaksanakan maka Aspuri tidak perlu merasakan jeruji besi dan permasalahannya dapat diselesaikan diluar pengadilan.
Aris, seorang remaja berusia tiga belas tahun harus menjalani kehidupan masa remajanya di Lembaga Pemasyarakatan Anak Tangerang, Banten karena terbukti mencuri telepon genggam. Aris dipidana lima tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Tangerang. Apakah Aris yang masih beranjak remaja harus menjalani hidup lima tahun dipenjara hanya karena telepon genggam yang dicurinya? Apakah tidak ada alasan lain untuk membantunya agar tidak menjalani kehidupannya di penjara?.
Menteri Hukum dan HAM RI Patrialis Akbar menyatakan bahwa anak-anak yang berusdia sepuluh tahun tidak semestinya dipenjara, apalagi jika kejahatan yang dilakukannya tidak mengancam keselamatan orang lain. Dengan demikian perlu adanya perubahan sistem hukum di negara ini. Guru besar Ilmu Hukum Universitas Katholik Soegijapranata Semarang, Agnes Widanti mengakui bahwa masyarakat miskin semakin tidak berdaya berhadapan dengan hukum. Penegak hukum dengan mudahnya menjatuhkan hukuman kepada masyarakat miskin yang terbukti bersalah tanpa melihat konteks mengapa hal itu terjadi. Saat ini semua orang yang memiliki kekuasaan dengan leluasa menerapkan kekuasaannya melalui jalur hukum. Karena itu, orang yang tidak memiliki kuasa apapun, seperti orang miskin dengan mudah dijerat.
Pada kenyataannya hukum yang seharusnya bersifat netral bagi setdiap pencari keadilan atau bagi setiap pihak yang sedang mengalami konflik, seringkali bersifat diskriminatif, memihak kepada yang kuat dan berkuasa. Aturan-aturan hukum yang dibuat dari mulai tingkat pusat hingga daerah mestinya jangan hanya memberi perlindungan dan akses bagi para pelaku ekonomi kelas kakap, melainkan juga harus mengakomodasi kepentingan warga negara yang tidak mampu dalam mengembangkan aktivitas ekonominya. Karena hukum tidak hanya terkait dengan masalah penegakan keadilan, tapi juga berfungsi sebagai faktor penunjang bagi pembangunan ekonomi untuk kesejahteraaan rakyat. Kelompok rentan hukum tak sekadar tidak mampu finansial, tetapi juga mencakup anak-anak, kelompok manula, minoritas, wanita, masyarakat adat, dan suku terasing.
Dalam sistem peradilan, dikenal adanya jaminan ketersediaan sarana pemenuhan hak bagi masyarakat miskin untuk mencapai keadilan. Misalnya, negara diwajibkan untuk menyediakan advokat dan/atau Pekerja Bantuan Hukum (PBH) secara cuma-cuma, menyediakan penerjemah, membebaskan bdiaya perkara, dan seterusnya. Tidak adanya pendampingan hukum bagi masyarakat miskin dapat berakibat hak-hak hukum yang bersangkutan terlanggar maupun dilanggar. Sehingga upaya masyarakat miskin atas keadilan, tanpa membahas metode dan prosedur pelayanan, pencapadian dan pemenuhannya, bdias berakibat keadilan tidak akan pernah dapat dijangkau oleh masyarakat miskin. Setidaknya ada enam persyaratan yang harus dipenuhi agar negara dapat menunaikan kewajibannya dalam promosi, perlindungan maupun pemenuhan keadilan bagi semua orang, yaitu:
(1) adanya profesionalisme para aparat penegak hukum;
(2) adanya sistem informasi terintegrasi yang dapat diakses secara mudah oleh masyarakat;
(3) adanya transparansi di tubuh institusi para penegak hukum;
(4) adanya aparat penegak hukum yang bertanggung jawab (akuntabel) dalam melaksanakan tugas dan pelayanan kepada masyarakat;
(5) adanya kesadaran bahwa profesi penegak hukum (polisi, jaksa, advokat dan hakim) merupakan profesi yang mulia;
(6) adanya jaminan perlindungan dan penghargaan yang layak bagi para penegak hokum.
Dalam hukum progresif, seharusnya penegak hukum tidak hanya berlaku normatif. Ada saatnya penegak hukum harus mendengar hati nuraninya. Kasus nenek Minah, Aspuri dan Aris tidak perlu harus sampai pengadilan, dan apabila sampai tingkat persidangan di pengadilan maka seorang hakim harus dapat menempatkan posisinya, hati nuraninya dan tidak terpaku pada formal hukum. Hakim bias membebaskan mereka atas tuntutan yang disampaikan oleh jaksa, karena ada kecacatan pada proses hukum mereka.
















DAFTAR ACUAN



Soetandyo Wignjosoebroto, “Nenek Minah Tak Curi Cokelat”, Kompas, 15 Pebruari 2010.

John Im Pattiwael, “Hukum Untuk Si Miskin”, Kompas, 15 Pebruari 2010.

DWA/UTI/TRA, “ Rasa Keadilan Masih Tersisih”, Kompas, 15 Pebruari 2010.

Minggu, 21 Februari 2010

Status Kewarganegaraan Perkawinan Campuran

BAB III
PERKAWINAN CAMPURAN DALAM
HUKUM KEWARGANEGARAAN INDONESIA



A. Perkawinan Campuran
Berdasarkan Pasal 1 Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR) Tahun 1898 yang dimaksud dengan perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Tunduk dibawah hukum yang berlainan karena akibat pembagian golongan penduduk antara Bumiputra asli dengan golongan Eropa dan turunan asing atau karena perbedaan tempat dan perbedaan agama yang dianut. Dengan demikian, perkawinan campuran meliputi perkawinan internasional, antar-regio (interregional), antar tempat (interlocal), antar golongan (intergentil), dan antar agama (interreligious).
Berdasarkan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Dari definisi Pasal 57 UU Perkawinan ini dapat diuraikan unsur-unsur perkawinan campuran sebagai berikut:
a. Perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita;
Menunjukkan asas monogami dalam perkawinan karena ikatan suci antara seorang pria dengan wanita.
b. Di Indonesia tunduk pada aturan yang berbeda;
Melangsungkan perkawinannya di Indonesia, dimana pria dan wanita tunduk pada hukum masing-masing negaranya sebelum melangsungkan perkawinan.
c. Karena perbedaan kewarganegaraan;
Perbedaan disini bukan karena perbedaan agama, suku bangsa, dan golongan, melainkan perbedaan kewarganegaraan.
d. Salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Perbedaan di atas bukan kewarganegaraan asing semuanya, melainkan salah satu kewarganegaraan baik itu pria atau wanita adalah berkewarganegaraan Indonesia.
Tegasnya perkawinan campuran menurut Undang-Undang ini adalah perkawinan antar Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing, baik itu laki-laki Warga Negara Asing dengan perempuan Warga Negara Indonesia maupun laki-laki Warga Negara Indonesia dengan perempuan Warga Negara Asing. Dengan kewarganegaraan yang berbeda tentu saja hukum yang berlaku bagi mereka juga berlainan.
B. Perkawinan Campuran Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
Sesuai dengan pengertian perkawinan campuran pada Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan seperti disebutkan diatas, Pasal 58 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku. Cara memperoleh dan kehilangan kewarganegaraan karena perkawinan diatur dalam hukum kewarganegaraan.
1. Status Kewarganegaraan Suami/Istri Pelaku Perkawinan Campuran
Perkawinan campuran antara wanita Warga Negara Indonesia dengan laki-laki Warga Negara Asing menyebabkan isteri dapat kehilangan kewarganegaraannya. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia lebih memberikan kesempatan kepada Warga Negara Asing pelaku perkawinan campuran untuk mendapatkan kewarganegaraan Indonesia. Ketentuan mengenai status kewarganegaraan perempuan dalam perkawinan campuran yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah sama halnya dengan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan kewarganegaraan yang lama, khususnya bagi seorang perempuan Warga Negara Indonesia yang menikah dengan pria Warga Negara Asing.
Perempuan Warga Negara Indonesia tersebut akan kehilangan kewarganegaraan Indonesianya apabila hukum negara sang suami menghendaki isteri untuk turut mengikuti kewarganegaraan suaminya, yang diakibatkan oleh perkawinannya. Namun apabila perempuan Warga Negara Indonesia tersebut ingin mempertahankan kewarganegaraannya, maka ia dapat mengajukan surat pernyataan mengenai keinginannya kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal, dengan ketentuan bahwa pengajuan surat pernyataan tersebut tidak mengakibatkan ia berkewarganegaraan ganda. Pasal 26 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 menyebutkan :
(1) Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki Warga Negara Asing kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum Negara asal suaminya, kewarganegaraan isteri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut;
(2) Laki-laki Warga Negara Indonesia yang kawin dengan perempuan Warga Negara Asing kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum Negara asal isterinya, kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan isteri sebagai akibat perkawinan tersebut;
(3) Perempuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau laki-laki sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jika ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia dapat mengajukan surat pernyataan mengenai keinginannya kepada pejabat atau perwakilan Republik Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki tersebut, kecuali pengajuan tersebut mengakibatkan kewarganegaraan ganda;
(4) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan oleh perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah 3 (tiga) tahun sejak tanggal perkawinannya berlangsung.

Kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesianya karena perkawinan dan sesuai dengan angka (3) diatas, maka perempuan atau laki-laki Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki atau perempuan Warga Negara Asing mengajukan surat pernyataan mengenai keinginannya kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui pejabat pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal orang yang mengajukan.
Pasal 55 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik menyebutkan :
(1) Perempuan atau laki-laki Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki atau perempuan Warga Negara Asing kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia karena menurut hokum Negara asal suami atau istri, kewarganegaraan istri atau suami mengikuti kewarganegaraan suami atau istri sebagai akibat perkawinan tersebut;
(2) Jika perempuan atau laki-laki sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia dapat mengajukan surat pernyataan mengenai keinginannya kepada Menteri melalui pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal orang yang mengajukan pernyataan.
(3) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan setelah 3 (tiga) tahun sejak tanggal perkawinan berlangsung, dibuat dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermaterai cukup dan sekurang-kurangnya memuat :
a. Nama lengkap orang yang mengajukan pernyataan;
b. Tempat dan tanggal lahir;
c. Jenis kelamin;
d. Alamat tempat tinggal;
e. Pekerjaan;
f. Kewarganegaraan suami atau istri;
g. Status perkawinan;
h. Nama lengkap suami atau istri.

Surat pernyataan diatas harus dilampiri dengan :
a. Fotokopi kutipan akte lahir orang yang mengajukan permohonan yang disahkan oleh Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia;
b. Fotokopi kutipan akte perkawinan/buku nikah orang yang mengajukan surat pernyataan yang disahkan oleh Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia;
c. Fotokopi paspor Republik Indonesia, surat yang bersifat paspor, atau surat lain yang dapat membuktikan bahwa orang yang mengajukan surat pernyataan pernah menjadi Warga Negara Indonesia yang disahkan oleh Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia;
d. Surat pernyataan menolak menjadi Warga Negara Asing dari orang yang mengajukan surat pernyataan di atas kertas bermaterai cukup yang disetujui oleh pejabat Negara asing yang berwenang atau kantor perwakilan Negara asing;dan
e. Pasfoto berwarna terbaru dari orang yang mengajukan surat pernyataan berukuran 4x6 cm sebanyak enam lembar.
Dengan demikian, laki-laki atau perempuan Warga Negara Indonesia tidak akan kehilangan kewarganegaraannya dikarenakan peraturan kewarganegaraan dari suami atau isterinya dengan mengajukan surat pernyataan kepada pejabat atau perwakilan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud di atas. Akan tetapi apabila perempuan atau laki-laki Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki atau perempuan Warga Negara asing kehilangan kewarganegaraan Indonesianya karena tidak melaksanakan Pasal 26 angka (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dan Pasal 55 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia maka kepadanya dapat memperoleh kembali kewarganegaraan Republik Indonesia dengan mengajukan permohonan kepada Menteri.
Pasal 49 angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia meyebutkan :
Warga Negara Indonesia yang kehilangan kewarganegaraannya akibat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan (2) Undang-Undang sejak putusnya perkawinan dapat memperoleh kembali kewarganegaraan Republik Indonesia dengan mengajukan permohonan kepada Menteri melalui Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal pemohon.
Adanya syarat untuk memperoleh kembali kewarganegaraan Republik Indonesia setelah putusnya perkawinan berarti apabila belum putusnya perkawinan atau bercerai maka hal tersebut tidak dapat dilakukan.
Laki-laki Warga Negara Asing yang menikah dengan perempuan Warga Negara Indonesia dapat memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia dengan mengajukan permohonan dan pernyataan untuk menjadi Warga Negara Indonesia. Pasal 19 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaran Republik Indonesia menyatakan bahwa :
(1) Warga Negara Asing yang kawin secara sah dengan Warga Negara Indonesia dapat memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia dengan menyampaikan pernyataan untuk menjadi warga negara di hadapan pejabat;
(2) Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila yang bersangkutan sudah bertempat tinggal di wilayah Negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut, kecuali dengan perolehan kewarganegaraan tersebut mengakibatkan berkewarganegaraan ganda;
(3) Dalam hal yang bersangkutan tidak memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia yang diakibatkan oleh kewarganegaraan ganda sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang bersangkutan dapat diberikan izin tinggal tetap sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara menyampaikan pernyataan untuk menjadi Warga Negara Indonesia sebagaimana diatur pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan menteri.

Pasal 2 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02-HL.05.06 Tahun 2006 tentang Tata Cara Menyampaikan Pernyataan Untuk Menjadi Warga Negara Indonesia menyebutkan :
Warga Negara Asing yang kawin dengan sah dengan Warga Negara Indonesia dapat memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan menyampaikan pernyataan menjadi Warga Negara Indonesia di hadapan Pejabat apabila yang bersangkutan sudah bertempat tinggal di wilayah Negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut, kecuali dengan perolehan kewarganegaran tersebut mengakibatkan berkewarganegaraan ganda.

Pernyataan untuk menjadi Warga Negara Indonesia disampaikan oleh pemohon secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermaterai kepada Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal pemohon dengan memuat :
a. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta tempat tinggal dan kewarganegaraan pemohon;
b. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta kewarganegaraan suami atau isteri pemohon;
c. Lampiran :
1) Fotokopi kutipan akte kelahiran pemohon yang disahkan oleh pejabat yang berwenang;
2) Fotokopi kartu tanda penduduk atau surat keterangan tempat tinggal pemohon yang disahkan oleh pejabat yang berwenang;
3) Fotokopi kutipan akte kelahiran dan Kartu Tanda Penduduk Warga Negara Indonesia suami atau istri pemohon yang disahkan oleh pejabat yang berwenang;
4) Fotokopi kutipan akte perkawinan/buku nikah pemohon dan suami atau istri yang disahkan oleh pejabat yang berwenang;
5) Surat keterangan dari kantor imigrasi di tempat tinggal pemohon yang menerangkan bahwa pemohon telah bertempat tinggal di Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut;
6) Surat keterangan catatan kepolisian di tempat tinggal pemohon;
7) Surat keterangan dari perwakilan negara pemohon yang menerangkan bahwa setelah pemohon memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, ia kehilangan kewarganegaraan negara yang bersangkutan;
8) Pernyataan tertulis bahwa pemohon akan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia , Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan akan membelanya dengan sungguh-sungguh serta akan menjalankan kewajiban yang dibebankan negara sebagai Warga Negara Indonesia dengan tulus dan ikhlas;
9) Pasfoto pemohon terbaru berwarna ukuran 4x6 sebanyak enam lembar.
Dengan demikian laki-laki atau perempuan Warga Negara Asing yang kawin sah dengan laki-laki atau perempuan Warga Negara Indonesia dapat memperoleh kewarganegaran Republik Indonesia.
2. Status Kewarganegaraan Anak Hasil Perkawinan Campuran
Kedudukan anak yang berkaitan dengan status kewarganegaraan dalam perkawinan campuran juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan khususnya dalam Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 62. Ketentuan tersebut menjelaskan bahwa kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik yang mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia mengatur bahwa anak hasil perkawinan campuran dari bapak Warga Negara Asing dan ibu Warga Negara Indonesia dapat memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia dan anak tersebut tidak kehilangan kewarganegaraan asing dari ayahnya. Pasal 4 huruf (c) Undang-Undang ini menyatakan:
“Warga Negara Indonesia adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan ibu Warga Negara Asing”.
Pasal 4 huruf (d) menyatakan bahwa:
“Warga Negara Indonesia adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Asing dan ibu Warga Negara Indonesia”.
Bila melihat Pasal di atas dapat disimpulkan bahwa :
a. Kewarganegaraan anak dapat diwariskan dari ayah;
b. Kewarganegaraan anak dapat diwariskan dari ibu;
c. Seorang anak dapat memiliki kewarganegaraan asing dari ibunya yang berkewarganegaraan asing;
d. Pada usia tertentu sebagaimana yang diatur oleh undang-undang ini, anak tersebut harus memilih salah satu kewarganegaraan yang dimilikinya.
Dengan demikian, anak hasil perkawinan campuran dapat memiliki kewarganegaraan ganda yaitu kewarganegaraan Republik Indonesia dan kewarganegaraan bapaknya. Akan tetapi kewarganegaraan tersebut adalah kewarganegaraan ganda terbatas, dengan pengertian bahwa pada saat berusia 18 (delapan belas) tahun si anak harus menentukan kewarganegaraan mana yang dipilihnya. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia menyatakan :
(1) Dalam hal status kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 hurus c, huruf d, huruf h, huruf l, dan pasal 5 berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapa belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya;
(2) Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat secara tertulis dan disampaikan kepada pejabat dengan melampirkan dokumen sebagaimana ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan;
(3) Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak anak berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.

Anak yang berkewarganegaraan ganda wajib didaftarkan oleh orang tua atau wali pada kantor imigrasi atau Perwakilan Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal anak. Pendaftaran tersebut dimaksudkan untuk memperoleh fasilitas sebagai Warga Negara Indonesia yang berkewarganegaran ganda. Pasal 41 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia menyebutkan :
“Anak yang lahir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf l dan anak yang diakui atau diangkat secara sah sebagaimana dalam Pasal 5 sebelum Undang-Undang ini diundangkan dan belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang ini dengan mendaftarkan diri kepada Menteri melalui pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling lambat 4 (empat) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.”

Pasal 2 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.01-HL.03.01 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pendaftaran Untuk Memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia Berdasarkan Pasal 41 dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia Beradsarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia menyebutkan :
Anak yang dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia adalah :
a. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan ibu Warga Negara Asing;
b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Asing dan ibu Warga Negara Indonesia;
c. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ibu Warga Negara Asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin;
d. Anak yang dilahirkan di luar wilayah Negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari Negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan;
e. Anak Warga Negara Indonesia yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing;
f. Anak Warga Negara Indonesia yang belum berusia 5 (lima) tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh Warga Negara Asing berdasarkan penetapan pengadilan.

Setelah didaftarkan anak tersebut mendapatkan kewarganegaraan Republik Indonesia. Dan kewarganegaraan Republik Indonesianya akan hilang apabila tiga tahun setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin tidak menolak atau melepaskan kewarganegaraan lainnya atau tidak menyatakan dengan surat pernyataan untuk memilih kewarganegaraan Republik Indonesia. Dengan demikian anak hasil perkawinan campuran mendapat perlakuan khusus dengan Undang-Undang ini dengan diberikannya kewarganegaraan ganda terbatas.