Jumat, 12 Maret 2010

HUKUM dan SI MISKIN

HUKUM TAK BERPIHAK PADA SI MISKIN



Saat ini hubungan negara dengan rakyat sudah berjalan ke arah yang lebih baik yaitu menuju Negara Demokrasi Konstitusional. Hal ini ditandai dari adanya jaminan perlindungan hak asasi manusia, pembatasan, kekuasaan, dan mekanisme sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Demokrasi konstitusional merupakan sebuah model negara yang ditandai oleh relasi negara dan rakyat berdasarkan paham konstitusionalisme. Model negara semacam ini mencegah praktek tirani mayoritas apalagi tirani minoritas, karena kekuasaan senantiasa dibatasi oleh nilai-nilai keadilan, kebenaran, demokrasi, supremasi hukum dan hak asasi manusia yang dimuat dalam konstitusi. Memiliki persamaan dengan makna hak untuk memperoleh dan menggunakan manfaat dari suatu ketersediaan. Karenanya masyarakat miskin seharusnya mendapat jaminan dan pengakuan dalam menggunakan hukum acara dan sarana dalam sistem peradilan untuk mendapatkan keadilan dan kebenaran materiil. Keperluan sebuah peraturan perundang-undangan yang menjamin akses masyarakat terhadap keadilan sangat diperlukan. Akses keadilan dalam konteks ini bukanlah akses keadilan yang sempit, melainkan keadilan dalam arti luas yakni mencakup semua bidang kehidupan, termasuk akses keadilan atas sumber daya alam, akses keadilan dalam relasi kerja formal dan informal, bahkan akses keadilan dan kesetaraan gender. Pelayanan bantuan hukum merupakan salah satu aksi dan program yang konkret untuk mewujudkan akses terhadap keadilan atau keadilan bagi semua orang terutama bagi kelompok masyarakat miskin dan termarjinalkan.
Bulan Agustus 2009, kepolisian sektor Ajibarang diperiksa karena diduga mencuri tiga buah kakao dari kebun PT. Rumpun Sari Antan yang juga tempat dia bekerja. Mandor yang memergokinya melaporkan perbuatannya ke kepolisian. Nenek minah pun ditahan dan pemeriksaannya berlanjut sampai persidangan. Ada kacacatan hukum yang diterima oleh nenek Minah, antara lain :
1. Nenek Minah tidak mendapatkan kuasa hukum atau pengacara untuk mendampinginya selama pemeriksaan sampai persidangan;
2. Keluarga, kerabat dan rukun tetanggganya tidak diberitahukan sehubungan dengan penahanannya;
3. Nenek Minah adalah seseorang yang buta akan hukum, dia hanya mengerti “ya” dengan maksud proses hukum atasnya dapat selesai dengan cepat.
Nenek Minah menerima putusan hakim bukan karena dia menganggap putusan hakim itu adil atau tidak adil, melainkan karena dia sudah lelah berurusan dengan hukum yang berlaku di negeri ini. Berbeda dengan nenek Minah, jaksa belum mau menerima putusan hakim yang jauh lebih rendah dari tuntutannya, oleh karena itu jaksa menyatakan masih akan pikir-pikir untuk berkonsultasi dulu dengan kajari.
Setiap pasal dalam Undang-Undang Pidana selalu mensyaratkan bahwa suatu perbuatan hanya di anggap sebagai perbuatan pidana apabila memenuhi unsur “melanggar hukum”, yang didalam bahasa aslinya disebut wederchtelijk. Di sini, kata recht yang dipakai dan bukan wet. Dalam kepustakaan hukum ada hukum rakyat yang masih berlaku pada kasus nenek Minah (locus delicti). Hukum tersebut di istilahkan dengan living law, atau law of the country. Apabila persoalan wederchtelijk dan law of the country diangkat dalam persoalan nenek Minah dan kakaonya, sebenarnya tidak ada unsur pidana dalam perbuatan nenek Minah. Nenek Minah tidak dapat dikatakan sebagai pencuri, karena menurut hukum rakyat setempat atau living law atau law of the country bahwa dikatakan mencuri apabila barang yang diambil dibawa pergi dan disembunyikan dan bukan dipetik serta diletakkan di tempatnya. Nenek Minah memberikan tiga buah kakao yang dipetik kepada mandornya.
Seorang pria berusia sembilan belas tahun bernama Aspuri harus menjalani pemeriksaan sampai persidangan di Pengadilan Negeri Serang, Banten. Aspuri di dakwa atas pencurian sebuah baju milik Dewi. Ada beberapa alasan yang perlu diperhatikan dan dicermati oleh aparat penegak hukum yaitu :
1. Aspuri mengambil baju milik Dewi yang dinilai seharga Rp. 80.000, 00 (delapan puluh ribu rupiah) dari sebuah pagar yang tidak dikenal tuan atau penghuninya;
2. Aspuri mengambil bukan secara diam-diam atau tidak diketahui oleh orang lain atau dengan sengaja, karena dia mengambil pada saat pulang dari ladang menuju rumahnya;
3. Aspuri tidak tahu kalau itu buju milik Dewi dan apakah Aspuri harus menghampiri setiap penduduk daerah tersebut untuk menanyakan baju tersebut milik siapa?.
Hukum memang tidak memberikan peluang kepada Aspuri untuk menjalani proses berhukum. Satjipto Rahardjo memberikan antitesis bahwa hukum dibuat untuk manusia dan bukan sebaliknya. Manusia memang bukan mesin atau kalkulator yang jika dimasukkan suatu rumus peristiwa sosial akan menghasilkan input yang sama. Pencurian sebuah baju, yang tergantung begitu saja dipagar kemudian dipersamakan dengan pencurian motor atau bahkan kasus-kasus korupsi yang mencuri uang negara yang sangat banyak. Kita juga mungkin akan melakukan hal yang sama ketika melihat baju tersebut. Banyak orang mempersalahkan penanganan hukum hukum yang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan yang terlalu mementingkan legal formal sebagai kata lain dari kepastian hukum. Apa artinya hukum apabila manusia menjadi tersiksa dan terbelenggu karena hukum itu. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pembentukan Undang-Undang menyebutkan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum. Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus dibuat atas dasar asas kemanusiaan dan kekeluargaan. Apabila hal itu dilaksanakan maka Aspuri tidak perlu merasakan jeruji besi dan permasalahannya dapat diselesaikan diluar pengadilan.
Aris, seorang remaja berusia tiga belas tahun harus menjalani kehidupan masa remajanya di Lembaga Pemasyarakatan Anak Tangerang, Banten karena terbukti mencuri telepon genggam. Aris dipidana lima tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Tangerang. Apakah Aris yang masih beranjak remaja harus menjalani hidup lima tahun dipenjara hanya karena telepon genggam yang dicurinya? Apakah tidak ada alasan lain untuk membantunya agar tidak menjalani kehidupannya di penjara?.
Menteri Hukum dan HAM RI Patrialis Akbar menyatakan bahwa anak-anak yang berusdia sepuluh tahun tidak semestinya dipenjara, apalagi jika kejahatan yang dilakukannya tidak mengancam keselamatan orang lain. Dengan demikian perlu adanya perubahan sistem hukum di negara ini. Guru besar Ilmu Hukum Universitas Katholik Soegijapranata Semarang, Agnes Widanti mengakui bahwa masyarakat miskin semakin tidak berdaya berhadapan dengan hukum. Penegak hukum dengan mudahnya menjatuhkan hukuman kepada masyarakat miskin yang terbukti bersalah tanpa melihat konteks mengapa hal itu terjadi. Saat ini semua orang yang memiliki kekuasaan dengan leluasa menerapkan kekuasaannya melalui jalur hukum. Karena itu, orang yang tidak memiliki kuasa apapun, seperti orang miskin dengan mudah dijerat.
Pada kenyataannya hukum yang seharusnya bersifat netral bagi setdiap pencari keadilan atau bagi setiap pihak yang sedang mengalami konflik, seringkali bersifat diskriminatif, memihak kepada yang kuat dan berkuasa. Aturan-aturan hukum yang dibuat dari mulai tingkat pusat hingga daerah mestinya jangan hanya memberi perlindungan dan akses bagi para pelaku ekonomi kelas kakap, melainkan juga harus mengakomodasi kepentingan warga negara yang tidak mampu dalam mengembangkan aktivitas ekonominya. Karena hukum tidak hanya terkait dengan masalah penegakan keadilan, tapi juga berfungsi sebagai faktor penunjang bagi pembangunan ekonomi untuk kesejahteraaan rakyat. Kelompok rentan hukum tak sekadar tidak mampu finansial, tetapi juga mencakup anak-anak, kelompok manula, minoritas, wanita, masyarakat adat, dan suku terasing.
Dalam sistem peradilan, dikenal adanya jaminan ketersediaan sarana pemenuhan hak bagi masyarakat miskin untuk mencapai keadilan. Misalnya, negara diwajibkan untuk menyediakan advokat dan/atau Pekerja Bantuan Hukum (PBH) secara cuma-cuma, menyediakan penerjemah, membebaskan bdiaya perkara, dan seterusnya. Tidak adanya pendampingan hukum bagi masyarakat miskin dapat berakibat hak-hak hukum yang bersangkutan terlanggar maupun dilanggar. Sehingga upaya masyarakat miskin atas keadilan, tanpa membahas metode dan prosedur pelayanan, pencapadian dan pemenuhannya, bdias berakibat keadilan tidak akan pernah dapat dijangkau oleh masyarakat miskin. Setidaknya ada enam persyaratan yang harus dipenuhi agar negara dapat menunaikan kewajibannya dalam promosi, perlindungan maupun pemenuhan keadilan bagi semua orang, yaitu:
(1) adanya profesionalisme para aparat penegak hukum;
(2) adanya sistem informasi terintegrasi yang dapat diakses secara mudah oleh masyarakat;
(3) adanya transparansi di tubuh institusi para penegak hukum;
(4) adanya aparat penegak hukum yang bertanggung jawab (akuntabel) dalam melaksanakan tugas dan pelayanan kepada masyarakat;
(5) adanya kesadaran bahwa profesi penegak hukum (polisi, jaksa, advokat dan hakim) merupakan profesi yang mulia;
(6) adanya jaminan perlindungan dan penghargaan yang layak bagi para penegak hokum.
Dalam hukum progresif, seharusnya penegak hukum tidak hanya berlaku normatif. Ada saatnya penegak hukum harus mendengar hati nuraninya. Kasus nenek Minah, Aspuri dan Aris tidak perlu harus sampai pengadilan, dan apabila sampai tingkat persidangan di pengadilan maka seorang hakim harus dapat menempatkan posisinya, hati nuraninya dan tidak terpaku pada formal hukum. Hakim bias membebaskan mereka atas tuntutan yang disampaikan oleh jaksa, karena ada kecacatan pada proses hukum mereka.
















DAFTAR ACUAN



Soetandyo Wignjosoebroto, “Nenek Minah Tak Curi Cokelat”, Kompas, 15 Pebruari 2010.

John Im Pattiwael, “Hukum Untuk Si Miskin”, Kompas, 15 Pebruari 2010.

DWA/UTI/TRA, “ Rasa Keadilan Masih Tersisih”, Kompas, 15 Pebruari 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar